Editorial

18 Tahun Dumai Jadi Kota Persinggahan


18 Tahun Dumai Jadi Kota Persinggahan
Hendri Koswoyo
Kota Dumai

DUMAI merupakan daerah berkembang pesat dalam bidang Industri, dahulunya sebuah kecamatan dibawah Kabupaten Bengkalis dan meranjak remaja menjadi Kota Administratif dan dewasa ini menjadi Kota Dumai penuh tangki timbun dan pabrik sawit yang notabene sebuah 'Kota Pengolah'.

Sedikit menceritakan, Kota Dumai merupakan kota terluas nomor dua Di Indonesia setelah Manokwari. Namun semenjak Manokwari pecah dan terbentuk kabupaten Wasior, maka Dumai pun menjadi yang terluas. Tercatat dalam sejarah, Dumai adalah sebuah dusun kecil di pesisir timur Provinsi Riau yang kini mulai menggeliat menjadi mutiara di pantai timur Sumatera.

Kota Dumai merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis. Diresmikan sebagai kota pada April 1999, dengan UU No. 16 tahun 1999 setelah sebelumnya sempat menjadi kota administratif (kotif) di dalam Kabupaten Bengkalis. Pada awal pembentukannya, Kota Dumai hanya terdiri atas 3 kecamatan, 13 kelurahan dan 9 desa dengan jumlah penduduk hanya 15.699 jiwa dengan tingkat kepadatan 83,85 jiwa/km2.

Letak geografis wilayah strategis di pantai timur Sumatera ini menjadikan Dumai sebagai lintas untuk persinggahan bisnis. Kota kecil sudah masuk 18 tahun dan berpenduduk lebih kurang 300 ribu jiwa terdiri dari 7 kecamatan akan lebih dewasa dan menjadi bidikan para investor untuk mengembangkan bisnis industri.

Dumai miliki pelabuhan sangat mendukung untuk persinggahan kapal super tanker dengan kedalaman lautan 3 hingga 15 meter dari pesisir pantai. Wilayah diapit dua negara besar seperti Malaysia dan Singapura ini hanya seperti itu saja, tak menghasilkan pendapatan bagi daerahnya yang dikenal penjuru negeri ini sebagai pengolah bisnis.

Begitu juga sektor darat, lintasan tangki minyak dan turunan dari kepala sawit tanpa henti masuk ke Dumai. Begitu juga pendapatannya tidak sebanding hingga umur Kota Dumai 18 tahun. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah masih merangkak naik tidak jauh dari Rp1 triliun lebih, cukup besar untuk mengembangkan pembangunan.

Lain sisi, sektor laut sudah menjadikan juga keluhan bagi masyarakat berprofesi nelayan, tidak dapat panen banyak untuk memperoleh tangkapan ikan. Saat Dumai belum ditumbuhi pabrik dinilai sebagai perusak lingkungan laut dan biotanya, para nelayan sumringah membawa pulang tangkapan.

Efek itu juga terjadi akibat banyak kepentingan sehingga menghalalkan segala cara tanpa ada memikirkan perubahan Dumai itu sendiri, pendapatan daerah setiap tahun tidak mampu untuk meningkatkan Anggaran Pendapatan Belaja Daerah (APBD).

Kota Dumai kerap dimanfaatkan jaringan narkotika internasional sebagai jalur pasokan barang haram. Masuk lewat Kota Dumai lalu disebarkan ke segala penjuru negeri ini. Tidak hanya Narkotika, barang apa saja menghasilkan uang dijual dan dimasukkan secara illegal. Parahnya lagi, manusia juga turut diperjual belikan.

Berbagai sektor memiliki peluang tersendiri, Dumai tetap menjadi kota persinggahan bagi bisnis. Dumai tidak bisa menerima hasil bisnis itu sendiri tak mengerti apa masalahnya, baik pajak, dana bagi hasil dan pekerja juga sudah dikuasai para warga asing.

Perlukah pergerakan akar rumput untuk menghalangi bisnis ini, pasti para petinggi negeri tahu efek dari itu. Investor akan enggan untuk mengembangkan bisnis industri di Kota yang dikenal legenda putri tujuh ini.

Tak terbayang retorika belum duduki singasana dan menjelang usai masa kepemimpinan 5 tahun menjabat kursi di Eksekutif maupun legislatif. Tak pernah pikirkan Dumai tenggelam seiring pasang air laut, ditambah perusahaan mulai persempit aliran air dan bibir pantai mulai tak terjaga sehingga masyarakat juga menjadi korban.

Dumai Kita Semua,
Kota Makmur Dan Madani,
Terus Beranjak Dewasa

                             Penulis: Rezi AP

Penulis:


Tag:Editorial